Friday, August 24, 2007

Warung Bu Tatang, Bandung

Minggu lalu habis jalan-jalan ke Bandung sama sayangku, Anggi. Kebetulan dia juga libur. Kan TransTV notorious untuk masalah jadwal kerja. Seenaknya telpon pegawai untuk masuk dan kerja sampai jam 3 pagi. Susah cari libur barengnya.

Berangkat pagi-pagi ke Gambir, dapat tiket yang jam 5 pagi. Enak, tidak ada antrian lagi kayak dulu waktu aku mahasiswa. Karena sekarang sudah ada tol cipularang, semua pada lewat sana. Namun tetap aja, kereta api lebih romantis hehe. Dari dulu aku penggemar kereta api. Ketika pertama kali pergi ke Bandung, aku memilih naik kereta api, sementara teman-temanku lebih suka naik bus. Banyak yang bisa dikenang di kereta api, daripada di bus.

Sampai Bandung sekitar jam 8 pagi. Langsung terasa dinginnya. Keluar lewat pintu selatan, pengen nostalgia comro, namun ternyata sedang tidak ada yang jual gorengan. Ya udah, langsung naik angkot St Hall - Dago. Turun di pasar simpang Dago, untuk ganti angkot dengan Caringin - Sadang Serang. Melihat pasar simpang, lalu teringat ada mie ayam dan es durian yang kata temen-temenku enak, di Jl. Tubagus Ismail 1. Aku sendiri sih, tidak terlalu nge-fans dengan mie ayam. Tapi Anggi penggemar mie ayam. Jadilah kita mampir ke sana.

Habis dari mie ayam, kembali ke tujuan utama. Kita jalan kaki melewati jl. Ciheulang, sampai ke Sekeloa, warungnya Bu Tatang. Warung yang melegenda dalam hidupku. Waktu mahasiswa, minimal sebulan sekali, makan di sana. Suasana yang nyaman, makanan yang enak, dengan harga mahasiswa, membuatku ketagihan. Popularitas warung Bu Tatang hanya terbatas di anak SMA 3 Malang, dan teman2 mereka pastinya. Karena promosinya hanya dari mulut ke mulut. Letak warung ini agak jauh dari jalan besar.

Berhubung masih pagi, lumayan sepi lah. Bisa langsung dapat tempat duduk. Warung Bu Tatang ini, kalau mau pesan, lebih asyik langsung ke dapurnya. Di sana sudah berjajar lauk pauk yang berdebar-debar untuk disantap, memenuhi kerakusan kita :)

"Pagi Bu Tatang"
"Eh, Aa. Kemana saja ?" (beliau tidak pernah tahu namaku)
"Sekarang tinggal di Batam"
"Makin gemuk. Sama temannya ?" (biasanya aku sama Gandi, atau Reza)
(aku senyum pepsodent aja) "Ngga. Ada ikan mas ?"
"Aya, berapa ?"
"Ngg, kalau gepuk ada ?"
"Habis A'"
"Yah ... kalau tongkol ? "
"Tongkol tidak ada juga" (wah, keliatannya ada penurunan diversifikasi makanan nih, dadar jagung pun tidak keliatan).
"Ikan Mas dua, sama tempe, dan sop" (akhirnya aku pesan menu standar yang populer di sini).

Aku pun balik, menunggu di meja makan dengan tidak sabar :)

Dan, mulailah berdatangan, set lengkap makan siang (tapi aku makannya jam 10 hehe) di warung Bu Tatang.



Setiap kali kita pesan makanan, apapun, maka akan selalu diikuti dengan sambal terasi, lalap, nasi satu ceting. Tempe, walaupun waktu pesen tidak menyebutkan berapa biji, akan diberi dalam jumlah banyak. Yang selalu kulakukan pertama adalah, makan sop-nya yang masih panas separo, sebagai appetite, separo-nya lagi kusisakan sebagai desert. Sop ini standar, seperti sop umumnya, dengan merica yang agak banyak, jadi pedas. Isinya pun sama, ada wortel, kubis, daun prei, kentang dan tetelan daging. Ada juga bawang putihnya.

Setelah perut kita menjadi hangat, kucolek-kan tempe pada sambel trasi, dan hap, kugigit separo. Wuah, rasanya enak bangettt. Sambal yang terbuat dari banyak trasi, sedikit tomat, garam dan lombok tentunya, benar-benar membuat lidah bergoyang. Ada tambahan vetsin sih sebenarnya. Ini adalah salah satu sambel yang kusuka, selain sambel bajak (untuk rawon) buatan Ibu. Tapi tetep saja, tidak habis, pasti ber-sisa separo. Kalau temen-temenku, pada nambah nih sambelnya. Anggi pun suka pada sambelnya.

Nasi hangat, tempe dan sambal; kombinasi yang mantap. Tidak ada warung lain yang bisa menyajikan kombinasi ini dengan lebih enak. Tapi di Warung Bu Tatang masih ada specialty lagi, yaitu ikan mas goreng. Keliatannya sebelum digoreng, ikannya diolah terlebih dahulu. Yang jelas, ketika berjajar di dapur, ikan mas ini memang kelihatan setengah matang, tinggal goreng ketika ada yang pesan.



Penyajian ikan masnya unik. Kalau biasanya, ikan mas hanya dibersihkan perutnya, kemudian diolah. Di warung ini, ikan mas dibelah menjadi dua. Kepalanya pun dibelah menjadi dua. Dianjurkan untuk memakannya ketika hangat, karena kalau dingin, durinya menjadi keras, sehingga ada tugas tambahan untuk menyingkirkan durinya.

Daging di punggung selalu kelihatan yang paling menantang untuk dimakan terlebih dahulu. Usapkan ke sambel, taruh di atas nasi, kemudian masukkan ke mulut. Daging ikannya terasa lunak, tipikal ikan sungai. Namun tidak lembek dan amis. Kalau ini tergantung skill pemasaknya. Rasanya ya seperti ikan goreng. Kalau ikan mas di warung Bu Tatang ada sedikit rasa manisnya, walaupun yang mendominasi tetap rasa asin.

Bergantian tempe dan ikan, tidak terasa sudah habis, ikannya tinggal tulang belulang dan kepala. Temenku bahkan bisa menghabiskan kepalanya :) Kalau aku agak lebih beradab lah, kasihan kucingnya gak kebagian nanti. Heh, istirahat dulu. Kemudian kembali ke dapur, bayar dan pamit ke Bu Tatang.

Yak, setelah perut terisi, terserah Anggi mau jalan ke manapun, sudah kuat.
"I'm coming Bandung !" Lanjut ...

Tuesday, August 14, 2007

Ke Padang

Sekitar bulan April 2007, proposal dosen muda yang kumasukkan ke Kopertis X di Padang, diterima. Aku diminta untuk menyelesaikannya selama 3 bulan, sampai bulan Juli. Agustus ini harus presentasi ke Padang. Gak enaknya, yang dari Politeknik Batam cuma aku. Jadinya sendirian jalan-jalan ke Padang-nya.

Berangkat naik Merpati, hehe ... ngeri juga. Atau karena secara psikologis aku sudah beranggapan bahwa Merpati itu pesawatnya jelek. Alhamdulillah, berhasil mendarat dengan selamat di bandara Minangkabau. Ini adalah bandara baru, fasilitas lengkap dan modern. Garbarata dari kaca, bersih, landasan di tepi pantai, dan cukup panjang. Dari bandara tinggal naik bis shuttle untuk ke kota.

Mampir ke Kopertis dulu, kemudian baru cari hotel. Karena miskin, terpaksa cari hotel yang murah deh ... Dapat hotel Femina, di pusat kota, sebelah alun-alun Imam Bonjol. Pilih hotel Femina karena dulu waktu pertama kali ke Padang, sama panitianya diinepkan disana. Untuk acara presentasi penelitian ini harus menggunakan dana sendiri. Istirahat, tidur, mandi-mandi.

Malamnya, tentu saja langsung hunting ke Martabak Kubang. Makanan khas kota Padang. Bukan masakan Padang loh. Kalo masakan Padang kan sudah mendunia, sedangkan Martabak Kubang yang asli ini, hanya ada di kota Padang. Dari alun-alun Imam Bonjol, tinggal berjalan ke barat (arah pantai). Lihat terus ke sebelah kanan jalan. Apabila ketemu warung dengan martabak yang disusun berjejer-jejer dan bertumpuk-tumpuk banyak, itulah warung Martabak Kubang. Memang warung ini kalau bikin martabak langsung banyak, dalam satu penggorengan besar. Karena yang beli memang tidak kira-kira. Beli 5, 10 sekaligus. Menarik mengamati skill dan kecepatan pembuat martabaknya.


Nyampe sana, agak kecewa sih, soalnya Sate Padang yang jualan di sebelahnya sedang tutup. Aku kan lagi rakus ... mumpung di Padang. Ya udah, akhirnya pesen Martabak Kubang satu, diabisin sendiri :). Sama es jeruk. Martabak ini kulitnya tipis dan tidak renyah seperti kebanyakan martabak lain, lembut. Namun porsi telur untuk isinya sangat generous. Seperti makan telur dadar yang tebel, telurnya lebih dari satu. Daging sapinya juga cukup banyak, sudah diiris kecil-kecil. Campuran isi yang lain, standar seperti martabak, ada daun prei, bawang merah, sama merica yang terasa mengigit. Selain itu ada slight hint of bumbu gulai. Orang Padang kan paling jago bikin gulai, apapun bisa di-gulai.

Perbedaan lain dengan martabak biasanya, adalah dikasih kuah. Kuahnya pasti air donk ... dan keliatannya dicampur sama cuka sama sedikit kecap. Rasanya lebih ke manis, jadi ada tambahan gula mungkin. Terus ditaburi sama cabe rawit yang di-rajang, sama bawang merah, dan dicemplungi seiiris tomat. Cara makannya, tusuk sepotong martabak dengan garpu, celupin ke kuah, kemudian masukkan ke mulut ... wah, enak tenan. Tapi saya anjurkan, nyelupin ke kuahnya jangan sampe terendam semua. Karena nanti rasa yang mendominasi di mulut adalah rasa kuah. Rasa martabaknya akan kalah.

Hap ... hap ... hap ... kenyank deh. Setelah makan, bayar 10 ribu buat martabaknya. Pulangnya naek angkot, soalnya kalo jalan takut suduken. Lanjut ...